In Memoriam: Vibes Ramadan

Abdalwahab Mujtaba
Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir di STAI Al-Anwar Sarang Rembang
Konten dari Pengguna
24 April 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdalwahab Mujtaba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penjual takjil di bulan Ramadan (Sumber foto: Umar ben/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Penjual takjil di bulan Ramadan (Sumber foto: Umar ben/Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hampir genap sebulan yang lalu bulan Ramadan meninggalkan kita. Hari raya dengan segala keramaiannya juga sudah berlalu. Orang-orang kembali menjalani kesibukannya masing-masing. Entah bekerja, menjalani perkuliahan, mengikuti kegiatan belajar-mengajar, atau bahkan berdiam diri di rumah saja, setiap orang sudah kembali pada rutinitas hariannya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, memori saya tiba-tiba teringat akan sebuah Instastory seorang teman yang membagikan pos Instagram. Pos tersebut bertuliskan “ramadan 2024=tercepat”. Bersama dengan komentar-komentar di bawahnya, pos Instagram ini mengingatkan saya tentang beberapa keluhan mengenai hilangnya vibes Ramadan pada tahun ini.
Saat memikirkan perihal hilangnya vibes ini, saya membayangkan diri saya berdiri di tengah mal yang ramai pada siang hari di penghujung bulan Ramadan. Malam sebelumnya, saya tidak sempat tarawih karena kelelahan sehabis buka bersama kawan-kawan alumni TK. Saya acungkan flash ponsel genggam pada orang-orang di mal. Setelah memulai siaran langsung, saya bertanya pada mereka,
“Di manakah vibes Ramadan tahun ini?
Orang-orang di mal tertawa sambil menyahut,
"Apakah ia pergi karena kita sudah dewasa?"
ADVERTISEMENT
"Apakah ia hilang karena dunia sudah tua?"
"Atau barangkali ia memang sudah tiada karena merasa ketinggalan jaman? Karena merasa sudah tidak relevan?"
"Mungkinkah ia sungkan pada para pekerja yang tidak punya waktu luang dan tenaga untuk salat malam sebelas rakaat dan menahan diri sejak terbitnya fajar hingga matahari tenggelam?"
"Atau jangan-jangan ia merasa rikuh pada para pelajar yang sering tumbang karena diterpa tugas-tugas dari pengajar demi mengejar angka sempurna?"
Saya membanting ponsel ke lantai keras-keras. Orang-orang di mal pun berkerumun di sekitar saya. Mereka memandang saya dengan tatapan bingung dan meremehkan. Sebelum mereka mulai membuka mulut untuk mencaci-maki saya—yang mana dapat mengurangi pahala puasa mereka—, saya berteriak,
"Vibes Ramadan tahun ini memang hilang dan kitalah yang menghilangkannya!"
ADVERTISEMENT
“Bagaimana tidak? Kita menyambut bulan Ramadan dengan berbagai macam pos dan story seakan-akan kitalah orang yang paling berbahagia akan kedatangannya. Kita buat rencana-rencana untuk memenuhi bulan Ramadan ini dengan berbagai macam ibadah. Semua rencana itu kita bagikan di media sosial dengan alasan agar banyak orang yang terinspirasi dan mengikuti langkah kita.”
“Benar saja, orang-orang mulai mengikuti apa yang kita lakukan. Masing-masing merencanakan ritual apa saja yang hendak mereka lakukan, lalu mempublikasikannya di akun pribadi mereka. Tanpa perlu menunggu waktu lama, candaan-candaan mulai menyelingi pos-pos rencana ibadah tersebut.”
“Saat mulai memasuki bulan Ramadan, kita kembali sibuk menggulir layar gawai. Menikmati suguhan media sosial yang menghibur kita dari lapar dan dahaga. Berita-berita dan konten hiburan dibalut warna hijau dan emas sebagai penanda bahwa kita berada di bulan yang amat mulia. Sayangnya, tanda itu tak juga mengingatkan kita untuk segera memulai rencana-rencana ibadah yang kita susun sejak berhari-hari sebelumnya.”
ADVERTISEMENT
“Hari-hari berlalu begitu cepat. Semakin diterpa kesibukan, kita makin merasa tidak memiliki waktu untuk sekadar membaca beberapa kalimat dari kitab suci. Kita merasa tak punya cukup tenaga untuk mendirikan dua puluh–atau bahkan delapan–rakaat seusai melaksanakan salat Isya. Meski demikian, selalu ada waktu dan tenaga untuk menaikkan peringkat di permainan daring kesayangan kita.”
“Buka bersama kini sudah bukan lagi wacana. Ia digelar di mana-mana, meramaikan kedai-kedai penjaja makanan dan minuman kekinian. Dekorasi tempat yang estetik berpadu dengan outfit pengunjung berwarna hitam dan coklat susu. Keduanya menyajikan sebuah view terbaik untuk membuat konten media sosial demi mengikuti tren yang sedang naik daun beberapa hari terakhir.”
“Jalanan mana pun tiba-tiba menjadi padat di sore hari. Kita berebut kesempatan mendapat sajian nikmat dengan harga terjangkau. Kita borong semua jenis makanan dan minuman yang mampu kita beli untuk memuaskan prosesi ‘balas dendam’ kita beberapa saat lagi.”
ADVERTISEMENT
“Kita sungguh baik hati telah menyisakan banyak tempat kosong di masjid dan musala untuk para lansia yang sudah tidak tertarik dengan urusan dunia. Secara sadar dan penuh kerelaan, kita memberi peluang kepada anak-anak untuk berjamaah di saf terdepan agar bisa langsung menyerbu imam sesaat setelah salat tarawih usai dilaksanakan. Saking baik hatinya, sampai-sampai kita menyediakan kesempatan bagi para qari terkenal untuk meramaikan masjid-masjid dengan rekaman suara mereka.”
Vibes Ramadan yang kita cari memang sudah kita hilangkan bahkan sebelum bulan tersebut datang. Tidak ada lagi kebahagiaan akan dilipatgandakannya pahala. Tidak ada lagi kebahagiaan akan datangnya waktu berbuka. Tidak ada lagi kenikmatan membaca kalam-kalam suci yang diturunkan pada Nabi-Nya. Tidak ada lagi kenikmatan melaksanakan ibadah secara bersama-sama. Semuanya itu kita hilangkan begitu saja.”
ADVERTISEMENT
“Kita bersamai bulan mulia ini dengan lapar dan dahaga. Dengan sengsara dan nestapa. Bahkan, hari raya kita sambut dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Kekhawatiran akan pertanyaan-pertanyaan kerabat. Kebencian pada keramaian seremonial acara keluarga. Kecintaan pada kesendirian dan ke-aku-an.”
Tenggorokan saya terasa serak. Sepertinya saya sudah terlalu banyak berbicara. Salah seorang pengunjung mal berinisiatif menawarkan segelas minuman dingin berwarna putih kecoklatan dengan beberapa bulatan hitam. Saya menolak tawaran tersebut dengan halus. Puasa, bisik saya. Pengunjung itu mengangguk pelan lalu menikmati sendiri minuman yang baru saja ia tawarkan.
Badan saya terasa lemas. Saya baru ingat ternyata tadi malam saya juga tidak sempat sahur. Sebelum kembali ke rumah, saya merasa perlu menyampaikan beberapa kalimat sebagai penutup.
ADVERTISEMENT
“Aku rasa kedatanganku sudah terlambat. Hari raya sudah di depan mata. Esok hari atau lusa, kita akan berpisah dengan bulan Ramadan ini. Mungkin tak ada gunanya juga aku berbicara panjang lebar seperti tadi. Akan tetapi, aku berharap ini semua dapat menjadi bahan evaluasi kita semua. Semoga saja kita dipertemukan dengan bulan Ramadan tahun depan dalam keadaan yang lebih baik.”
Selepas menyampaikan penutup, saya melangkahkan kaki keluar dari mal. Saya ambil ponsel yang saya banting beberapa menit yang lalu. Saat saya lihat kondisinya, ternyata ia masih menyala dan merekam semua yang saya katakan. Siaran langsung yang saya mulai juga masih berlangsung. Segera saya matikan siarang langsung tersebut karena baterai ponsel tersisa satu digit angka. Di parkiran mal, sayup-sayup terdengar alunan lagu Opick yang telah digubah,
ADVERTISEMENT
Ramadan tiba, Ramadan tiba, tiba-tiba Ramadan~